My eyes fluttered open, but the room was still dark. It was
too early for me to get up. I sighed, adjusted my pillow, and hoped for sleep.
Unfortunately, a lengthy TO-DO LIST bombarded my brain. I needed to finish my
report, answer an email, making legal’s public work family tree, writing my
novel asap, cleaning my room, schedule a doctor’s appointment, etc.
Antrian panjang kegiatan terkadang membebankan hidup kita.
Disaat seperti itulah kita harus
kembali refleksi, apakah sekian deret panjang kegiatan itu merupakan prioritas
kehidupan kita. Jangan-jangan kita sudah terjebak dalam suatu situasidimana kita tak punya lagi esensi terhadap
satu per satu aktivitas yang kita lakukan. Kita kemudian berubah menjadi
mesin/robot yang bekerja dengan mekanisme harian yang tak bertujuan. Jika ada
satu titik kita bisa tersadar, putarlah haluan. Screening kembali seluruh
aktivitas kita. Kemudian kembali lihat ke dalam peta hidup kita, dimana dalam
peta itu telah tergambar arah dan tujuan awal kehidupan kita. Mencermati setiap
perubahan arah yang terjadi dengan berbagai argumentasi. Dan mulailah kembali
memaknai setiap kegiatan dan aktivitas kita. Sebab rutinitas dapat membunuh makna.
Mengembalikan makna dapat dilakukan dengan cara berdoa. Doa dapat dijadikan media sekaligus mekanisme kontemplasi.
Dengan mengingat Pencipta, otak kita secara otomatis terseret pada logika awal yang
kebanyakan sudah kita yakini, yaknilogika bahwa kehidupan yang kita jalani sekarang merupakan
kehidupan sementara. Dan kehidupan kekal itu ada di akhirat.
Tentu saja mekanisme doa ini hanya berjalan bagi orang yang sudah terlebih
dahulu memiliki iman pada Dzat yang Maha Dahsyat,atau yang sering kita sebut
TUHAN. Disaat inilah kemudian saya teringat pada Penulis Mazmur 119 yang
menulis demikian, “I rise before the dawning of the morning, and cry for help;
I hope in Your Word”.
God atau TUHAN delivered special comfort during the
Psalmist’s sleepless nights. Although he couldn’t make his problems dissapear,
he said, “My eyes are awake through the night watches, that I may meditate on Your
Words.” Tiap malam sang Penulis ini mereview firman TUHAN terus menerus.Ia terus berkonsentrasi pada setiap kata-kata
dan makna didalamnya, sampai akhirnya ia menyatakan diri : “Oh, how I love Your
Law!”.
Orang yang percaya pada janji TUHAN bukanlah orang yang kemudian
terbebas dari segala masalah. Sebab pada dasarnya persoalan hiduplah yang
membentuk diri kita. Setiap persoalan yang berhasil terselesaikan terus dan
terus membuat diri kita matang dan dewasa. Tentu saja jika kemudian ditarik
sebuah kesimpulan. Tak jarang masalah yang datang dan pergi tak membawa makna
apapun dalam kehidupan seseorang. Dan akhirnya, hidup orang itu hanya bertujuan
menjalani masalah. Ini juga bukan sebuah sikap yang tepat. Permasalahan yang
bermanfaat adalah permasalahan yang digunakan sebagai media belajar. Tentu kawan-kawan
yang pernah menulis tulisan ilmiah ingat, bahwa sebuah hasil penelitian akan
dapat dikembangkan bila muncul adanya persoalan. Bahkan para mahasiswa sering
sekali cari masalah agar studinya cepat selesai. Jika ingin mencermati, masalah itu
amatlah banyak. Jadi sebaiknya, kita bijak dalam menjalani persoalan yang
sedang kita hadapi. Tidak perlu khawatir.
Jika kita mulai khawatir, ingatlah, “The word of God is
living and powerful”....
Hanya itu yang membuat
seseorang melangkah sangat hati-hati di saat sekarang. Banyak sekali
peribahasa yang berusaha menyampaikan pesan ini. "Nasi sudah menjadi
bubur". "Time never go back". "Kita harus berhadapan dengan penyesalan.
Menjadi dewasa berarti belajar menerima segala hal yang tidak dapat
kita ubah, menghadapi penderitaan yang tidak putus, dan belajar
mencintai hidup seperti adanya, bukan sebagaimana yang kita hendaki"
(Barbara Sher).
Semuanya berintikan sama. Jika saja ada seseorang
yang sudah tahu bahwa di masa depan akan menuai kepahitan, kegagalan,
kejatuhan, dan lain-lain sesamanya; pasti orang tersebut akan berusaha
agar sesuatu yg membuahkan hal2 tadi dicegah saat sekarang.
Banyak
kisah baik cerita fiksi maupun film yang bertemakan imajinasi melihat
masa depan. Kemudian kembali ke masa lampau, dan memperbaiki masa
sekarang agar dapat merubah kemalangan yang mungkin terjadi di masa
depan. Tapi semua hanya imajinasi. Hanya film dan cerita fiksi.
Angan-angan manusia yang dari dulu hingga sekarang tak pernah terwujud.
Mimpi adanya manusia yang menginjak bulan sudah terealisir. Mimpi
memiliki kereta api bawah laut sudah nyata. Bahkan dapat berkomunikasi
antar benua, merupakan teknologi manusia yang amat spektakuler. Belum
lagi penemuan2 medis yang juga sangat mencengangkan bagi manusia2 di
masa lampau tentunya. Tapi hingga kini, tak pernah terjadi adanya waktu
yang dapat diputar dan disetel ulang oleh manusia. Sebanyak apapun
manusia menciptakan imajinasi ini; waktu tak pernah berubah. Ia terus
bergerak maju, tak pernah pergi mundur. Manusia mati dan lahir secara
bergantian. Siklus itu terus berjalan dan tak pernah berakhir. Dunia
dalam waktunya, hanya mengulang sebuah pilihan, keputusan, konsekuensi
(salah n benar) dengan setting waktu, tempat dan orang yang berbeda.
Tindakannya sama.
Sadar bahwa waktu tak pernah
bergerak mundur itulah yang membuatku tetap tegar. Sebesar apapun
persoalan yang kuhadapi, tak pernah aku berharap bahwa waktu yang
bergerak mundur akan menyelamatkanku. Sesal atas kegagalan, kemalangan,
dan kepahitan tak kan pernah menyelamatkan masa depanku. Semua
konsekuensi pilihan gagal harus dapat kuhadapi, kujalani dan
kuperbaiki. Itu satu-satunya cara agar hidup tetap bermakna di setiap
perubahannya.
Belum lama sebenarnya.
Tanggal
30 Oktober 2011 yang lalu, aku baru saja menulis status di FB-ku
demikian : "I have already choose a friend here (Wonosari). I Hope he's
already a good friend for me..."
Now, tanggal 14
November 2011, I already realize,,,,,I've made a mistake. Ya. Memilih
adalah bagian dari takdir. Ketika pilihan sudah dijatuhkan, maka
konsekuensi harus diterima. Aku telah memilih seorang teman. Teman yang
kuanggap akan menjadi teman yang baik. Namun dunia dan waktu tak butuh
waktu lama untuk menunjukkan padaku bahwa aku gagal. Aku salah
menjatuhkan pilihan. Dan ketika serentetan konsekuensi itu datang, aku
harus menelannya sendirian. Karena pilihan adalah sebuah keputusan
pribadi yang pertanggungan jawabnya pun harus secara pribadi.
Temanku,,,menyakitiku. Hanya itu kata yang paling tepat untuk
menggambarkan rasa kegagalanku. Dan ketika ia menyakitiku, aku
tersadar. Bukan dia yang salah, tetapi aku! Akulah yang memilihnya.
Ini
bukan kali pertama kali aku gaga dan salah dalam menjatuhkan pilihanl.
Ini bahkan mungkin ke seribu sekian kalinya aku mengalami kegagalan.
Apalagi bila dihiitung sejak aku pertama kali belajar berjalan di masa
kecil dulu. Manusia memang tak pernah bisa memutar balik ulang waktu
yang terlanjur berputar. Aku ingat dengan kalimat Profesor Gunawan,
seorang ahli filsafat di UNY yang mengatakan demikian : "sekarang yang
ini bukanlah sekarang". Memang tak pernah ada waktu yang sama. Tiap
detik yang berlalu di bumi ini memiliki perbedaan. Detik lalu, banyak
peristiwa yang terjadi. Dalam satu putaran kosmos kehidupan, tak pernah
ada yang sama. Itulah yang kemudian membawaku pada satu titik, bahwa
pilihan tak selalu benar. Namun adalah naif jika kita memilih untuk
tidak memilih. Karena kelangsungan hidup ini memerlukan sebuah
keputusan. Meskipun dalam memutuskan sebuah pilihan harus siap dengan
konsekuensi kesalahan. Akhirnya, aku harus tetap yakin bahwa kelak aku
akan bertemu seorang kawan yang baik di tempatku yang sekarang. Entah
kapan dan bagaimana. Yang terpenting dari semua, adalah tetap berharap
bahwa the good will come. Hanya dengan harapan dan cita maka manusia
tetap punya semangat untuk melanjutkan pilihan hidupnya.
So, choice is the hinges of destiny......lan sabar iku ingaran mustikaning laku.....
Discipline is the bridge between goals and accomplishment....
This sentence reminds me about the value of discipline. I always feel sorry if I wake too early in the morning. But I feel no guilty at all if I wake too late. My mind teach me that night is the best time to make a contemplation. An important part to review life's journey and then fix them in the next day after.
In college, I kept my leisure activities to a minimum. Less
television, partying, or socializing for me. I was determined to
succeed and leave my mark on the school and at the same time, increase
my knowledge about my chosen career as law practitioner. All my activities allways associated with my chosen career. I wanna be a judge. The one who makes the law. Who decides the truth and the untruth of a case. Somehow, someway, I
wanted to be the absolute best I could be.
My journey actually began when I interned at Legal Aid institution. I
didn't care about earning the credits, but was interested in the inner
workings of the law enforcement. The internship taught me the
difference between the professional world and the college world. And it showed me the ravine between law in the book and law in action.
I also joined some competition on law topics. Like debate competition, mootcourt competition, and scientific papers in Law. Not only did I do well in my classes, I also
purchased numerous books on law and studied just as much during
my free time as I did in my required courses. I wanted to focus my
efforts and achieve success according to my own standards. So I asked
myself three questions:
1. What is my goal?
2. Can I accomplish it?
3. What actions must I take to reach it?
At the end of my study, I attended the training of lawyers. I discovered
that the analysis of the case depend of lawyer's duty. How to guide the Judge's perspective on Law become the most important part to be done. I found the answers to my questions:
1. Be a law practitioner.
2. Sure. Every law scholar can be a solicitors/ a judge/
a prosecutor, so why not me?
3. Produce a high-quality argument in law.
To my amazement, this goal fueled me for the next few years and
propelled me to learn as much as possible about being a solicitor; one of law pratitioner.The odds of success were
against me, as only two percent of graduates had ever won an award, but
once I focused on achieving this goal within the timeframe of college,
it set in motion an extraordinary self-transformation.
I felt an
enormous amount of energy and passion that was dormant before I set my
sights on the success. Partying, socializing, and drinking were
unimportant compared to the possibility of winning the case, something
that would increase my chances of finding work in the real world and
also give me a great sense of accomplishment.
Until I must handle a complicated rape case. The victim is a retard. Seemed no way out in law, no witness, no evidences. But finally, I did it. I won the case. The raper must be happy staying at jail for 10 years later. I don't know how I did it with only one friend as a team, but I
constructed sets, collected evidences and clues, did some interviews, and even arrange special clues and sciences. Somehow we
managed, even though it took us a year to finish the case.
I set out to achieve my goals and
found enormous rewards by conceiving, believing, and achieving my
dreams.
So, I just wanna affirm once again that discipline is the bridge between goals and accomplishment....
and,,,
the only sure thing about luck is that it will change.
Siapa tak hafal dengan awalan lagu “Alamat Palsu” yang dinyanyikan Ayu Ting-Ting ini. Lagu ini sekarang begitu populer. Tak urung, sang penyanyi pun turut naik daun. Sejenak melepas kepenatan masyarakat terhadap banyak masalah hukum yang terjadi di nusantara ini. Kalau mau diambil nilai filosofisnya, lagu “alamat palsu” juga dapat menjadi bahan permenungan wajah hukum di Indonesia. Sebab yang palsu di Indonesia bukan hanya alamat saja. Hakim palsu, Jaksa palsu, Polisi palsu , Pengacara palsu dan bahkan saksi-saksinya serta terdakwa, penggugat, serta tergugat juga bisa palsu semua.
Wajah Hukum Indonesia : Asli atau Palsu ?
Sejenak napak tilas perjalanan saya memilih dunia hukum. Semoga kawan-kawan tidak boring membacanya. Waktu itu, saat idealisme seorang mahasiswa baru begitu kuatnya, saya menaruh keyakinan bahwa sesuatu yang benar pasti akan menang. Termasuk dalam dunia peradilan. Sehingga logika saya pada masa itu, hukum akan jadi panglima jika ada semangat untuk menegakkan dan mencari kebenaran. Hingga tahun pun berjalan. Kira-kira menginjak semester 5, saya mulai menyerap bahwa banyak ketidakadilan yang jelas-jelas menjadi pemenang. Bahasa orang hukum : banyak terjadi d’etournement de pouvoir atau dalam bahasa ibu saya, banyak terjadi penyalahgunaan wewenang. Akibatnya ada jurang yang sangat dalam antara das sein dengan das sollen. Antara yang ideal dengan yang riil. Saya mulai menangkap, A Truth is the common’s truth. Lalu apa yang harus saya lakukan sebagai orang yang berkecimpung di dunia hukum (nantinya) ? Pikir saya pun melayang. Dan setelah beberapa waktu lamanya melakukan kontemplasi, saya berkeputusan, saya akan merubahnya! Tapi masakan sendirian? Nyali saya pun surut. Tapi tetap saya berkeputusan akan benar-benar terjun di lumpur hukum Indonesia yang sudah terlanjur pekat dan kotor ini.
Sampai akhirnya saat itu pun tiba. Saya diwisuda dan kemudian berhak menyandang gelar SH (Sarjana Hukum) dibelakang nama saya. Mau kemana saya? Pertanyaan saya sama persis dengan pertanyaan Ayu Ting Ting. Dan karena saya tak mau tersesat seperti Ayu, saya pun mengambil tawaran sebagai Redaktur Hukum di salah satu majalah internal di Jakarta. Semua perkara hukum yang jadi sorotan nasional saya kupas, saya analisis dan kemudian saya tulis sebagai informasi di media. Sambil menyelam, minum air. Singkat cerita, saya mengikuti PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat) dan lulus ujian PERADI sebagai seorang Advokat. Saya pun ganti jalur. Saya menjadi praktisi hukum. Mendampingi klien, menangani perkara dan pada akhirnya wajib memenangkan perkara.
Yang menarik adalah lika-liku menjadi seorang praktisi hukum. Banyak yang saya pelajari dalam berperkara. Sebuah guru yang tak mungkin saya peroleh di dunia perkuliahan. Inilah wajah hukum yang sesungguhnya. Sebuah wajah yang sama sekali beda dengan apa yang saya bayangkan. Mulai dari skill mencari celah hukum dalam setiap penyusunan gugatan atau pun pembelaan, sampai dengan skill beracara agar Majelis Hakim punya keberpihakan pada klien kita. Di pengadilan, segalanya serba mungkin, karena segalanya pun tersedia. Bak pasar malam yang menjual berbagai macam dagangan dari yang asli sampai yang palsu, mulai dari yang baru sampai dengan yang bekas, semua ada. Demikian pula di pengadilan, ada keputusan hakim yang benar-benar obyektif, ada pula yang fiktif atau rekayasa semata.Demikian pula aparatnya (mulai dari hakim, pengacara, jaksa dan bahkan paniteranya), ada yang baru, ada yang bekas. Yang baru idealis, yang bekas realistis. Perkaranya pun beragam. Ada yang benar-benar asli (diperkarakan karena memang bersengketa) tapi tak jarang yang palsu (diperkarakan karena strategi politik or bisnis). Benar-benar toserba. Dari sedikit gambaran saya ini, mungkin kawan-kawan bisa menjawab sub judul saya di atas.
Bukan Sekedar Pendidikan Kritis Hukum
Beberapa waktu lalu, saya mensorot tentang pendidikan kritis terhadap hukum. Ternyata, pendidikan kristis saja belum cukup untuk mengubah wajah hukum yang terlanjur perot (dalam bahasa Indonesia carut marut, tak berbentuk lagi, miring sana sini). Bahkan yang lebih urgen adalah membenahi praktek hukum yang sudah tak tahu kemana arahnya. Sayangnya, kalau di dunia pendidikan, kunci utama terletak pada Rektor dan para dosennya. Jikamana para pemegang kebijakan di dunia pendidikan hukum sudah berpikir kritis dan berperspektif konstruktif, maka sebuah pola didik kritis pun menjadi sebuah hal yang niscaya. Di Indonesia, hal demikian sudah dirintis beberapa tahun yang lalu.
Bagaimana dengan dunia peradilan ? Siapakah pemegang kunci perubahan? Tentunya institusi MA (Mahkamah Agung), Kejagung (Kejaksaan Agung), POLRI (Kepolisian RI), PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia)/KAI (Koalisi Advokat Indonesia) serta Depkumham (Departemen Hukum dan HAM) harus menjadi motor utama. Bagaimana ke-7 lembaga ini bisa secara bersama-sama melakukan perubahan? Sebenarnya, jika mau, bisa dirintis sebuah MoU (Memorandum of Understanding) tentang penegakan hukum di Indonesia. Mulai dari proses persidangan, sampai dengan proses pengelolaan lapas. Produknya bisa berupa Surat Keputusan Bersama. Setidaknya ada political will dari para pemegang kekuasaan di bidang hukum. Sayang, yang terjadi malah sebaliknya.
Akhirnya, lahirlah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Yang kini keberadaannya pun sudah mulai diusik dengan rencana revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Beberapa pengamat menilai sebagai sebuah upaya penjinakan KPK. Dengan dalih ingin membenahi sistem penyelidikan dan penuntutan dalam penanganan korupsi (agar harmonis dengan KUHAP), alih-alih malah jadi upaya pembatasan ruang gerak KPK dengan merubah mekanisme kewenangan penyadapan. KPK tak lagi berhak melakukan penyadapan tanpa ada surat izin dari Ketua Pengadilan. Demikian pula KPK tak akan lagi memiliki wewenang untuk mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian Proses Penyidikan). Katanya, agar tidak terjadi jual beli perkara di KPK. Dan bila kewenangan itu kembali eksklusif milik KPN (Ketua Pengadilan Negeri), ya sama saja dengan mengembalikan kewenangan yang riskan ini ke lembaga yang menurut masyarakat merupakan pelaku utama judicial corruption.
Kita sama-sama mengetahui bahwa memang benar kekuasaan kehakiman itu independen atau mandiri dalam memutus sebuah perkara, namun kesemuanya itu tidak menjamin bahwa kualitas putusannya tidak terhindar dari judicial crime. Dan dalam pola penyelesaian ini penuh dengan permainan, ketidak adilan serta ketidakpastian yang bertameng kepastian hukum. Mengenai independensi kekuasaan kehakiman ini nyata-nyata telah tertulis dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD RI tahun 1945 yang bunyinya demikian : (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dan, (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dalam lingkungan peradilan umum, peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan peradilan agama dan oleh sebuah Mahkamah Agung. Lagi-lagi, tidak terlalu signifikan merubah wajah hukum jika putusan yang dibuat tak menjamin terhindar dari judicial crime.
Saya tertarik dengan salah satu tulisan Ketua Pengadilan Agama Palopo. Beliau menyampaikan bahwa reformasi lembaga-lembaga peradilan ini akan sangat efektif bila disertai dengan mekanisme kontrol sosial oleh masyarakat. Untuk mekanisme ini, sebenarnya MA sudah memfasilitasi dengan mengeluarkan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pengaduan Pelapor. Artinya, MA membuka ruang pembenahan sistem peradilan bagi masyarakat. Selain itu, sebenarnya, dulu, MA juga pernah mengeluarkan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 1 Tahun 1967 tentang eksaminasi putusan pengadilan. Jikamana ini benar-benar dilaksanakan, maka tidak ada yang namanya mem-peti es-kan perkara. Sebab setiap Pengadilan Negeri diwajibkan secara reguler melakukan eksaminasi publik atas minimal 3 (tiga) putusan pidana dan 3 (tiga) putusan perdata kontraversial yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap di wilayah hukumnya. Kontrol sosial ini tentu sangat membutuhkan KESADARAN HUKUM yang tinggi dalam masyarakat. Namun harus disadari, masyarakat pun terlanjur memiliki mind set bahwa hukum dapat dibeli. Bukan hal yang aneh ketika salah satu anggota masyarakat terjerat perkara hukum kemudian melakukan proses penyuapan kepada APH (Aparat Penegak Hukum). Terjadilah hukum ekuilibrium ekonomi, tidak ada penawaran tanpa adanya permintaan.
Sayang pula, kebijakan ini akhirnya kemudian dipinggirkan. Dan mekanisme ini tak lagi dilakukan karena sekali lagi,,,belum menjadi common’s truth. Akhirnya, aturan melulu hanya sekedar aturan. Kebijakan pun jadi jawaban sesaat yang tak pernah signifikan mengatasi problem hukum nasional.
Dan karena itulah maka yang das sein selamanya jauh dari yang das sollen. Negeri ini pun jadi negeri yang terus bingung.
Udara terasa panas. Beberapa ada yang mengipas dirinya dengan koran, dan ada pula yang duduk di bawah kipas angin. Tapi tidak sedikit yang memilih keluar ruangan dan membeli segelas air dingin yang sejenak memang begitu menyegarkan. Di pojok kiri, satu dua orang menyibukkan diri dengan mengetik naskah-naskah kedinasan yang mendesak untuk dibuat.
Mungkin karena masa pancaroba, maka beberapa hari ini di saat siang panas begitu menyengat dan biasanya disusul dengan rintik hujan di sore harinya.
Tiba-tiba, terdengar gelak tawa kawan-kawanku di pojok kanan ruang kantorku yang berukuran 20 x 7 m. Karena ruangan begitu panjang, sehingga riuh tawa itu kemudian memecah kesunyian suasana. Dan segera, rasa panas pun terlupakan.
Ketika kutanya, mengapa mereka tertawa, jawaban mereka sederhana : “vitamin mbak, siang-siang.”
Seketika neuron di otakku langsung menangkap apa maksud mereka. Vitamin bagi mereka biasanya identik dengan guyonan mesra (kalau tidak mau dibilang porno) seputar hubungan terlarang beberapa karyawan di kantor.
Bicara masalah relasi kerja, tidak melulu yang muncul adalah masalah kinerja. Tak jarang bersenggolan dengan hubungan asmara yang terjalin dalam relasi yang biasa disebut “terlarang”. Kenapa disebut terlarang, pertama, karena memang biasanya yang menjalin asmara salah satunya atau salah duanya sudah terikat perkawinan. Sedangkan alasan yang kedua, karena dalam hal kedinasan memang tidak dibolehkan seorang pegawai yang telah terikat hubungan perkawinan menjalin asmara dengan orang lain. Sanksinya selain kedisiplinan juga bisa berujung pada pemecatan.
Tapi gak asik kalo gak selingkuh, demikian kata beberapa pelaku di kantorku. Agaknya, perselingkuhan di kalangan PNS sudah seperti mafia peradilan. Tidak kelihatan, tapi bisa dirasakan. Itu dia, masalah rasa yang tidak pada tempatnya, dipupuk, dipelihara dan akhirnya biasanya berujung pada suka sama suka. Kalau sudah gini, biasanya Cuma ada dua pilihan. Pertama, mereka tetap mempertahankan perkawinannya karena alasan kehormatan. Dan yang kedua, berakhirnya perkawinan. Padahal, kalau sudah begini, tetap saja ujung-ujungnya tidak terhormat.
Perselingkuhan bisa dimulai dari berbagai cara. Ada yang berawal dari jurus “bareng”. Kemana-mana bareng lama-lama ke kamar mandi pun bareng. Ada pula yang berawal dari jurus “curhat”. Apa-apa dicurhatin sampai-sampai warna pakaian dalam pun akhirnya jadi bahan curhat. Bahkan ada pula yang berawal dari jurus “ iseng”. Awalnya sms-an sekedar iseng akhirnya apa-apa diiseng’in. Termasuk iseng pegang-pegang “barang” temen. Wuitss,,,,,parah!!!!
Pikiranku akhirnya menerawang. Bagaimana ya rasanya jadi “pemain”. Antara takut dan senang kata mereka. Takutnya, takut ketahuan. Senangnya, sensasi yang dirasakan. Wah, parah juga kalau indikatornya sensasi. Tapi sejenak aku berpikir, mungkin saja semua itu berawal dari rasa penasaran yang kemudian direalisasikan. Yah, setidaknya mungkin dulu mereka hanya ingin tahu saja. INGIN TAHU. Sebuah kata yang bisa mendorong seseorang untuk bergerak, mencari dan mengeksplorasi. Bahaya juga ya kalau yang di-INGIN TAHU-i adalah lekukan tubuh pasangan orang lain.
“Gimana mbak? Berminat punya bojo loro?”. Kalimat itu yang kemudian memaksaku berhenti menerawang dan untuk segera menjawab, “Tidak Bu. Terima Kasih.”(Wonosari, Oct 2011)
Orang kebanyakan umumnya dikatakan buta hukumbaik terhadap isi undang-undang nasional maupun terhadap hukum lesan-tradisional. Mengapa orang “buta” terhadap undang-undang nasional? Karena pengetahuan tentang undang-undang nasional senyatanya masih menjadi pengetahuan elitis yang hanya dipahami sebatas kalangan kaum terpelajar saja, itupun lebih banyak oleh mereka yang mendapat pendidikan khusus di sekolah hukum.
Tapi mengapa orang juga “buta” (baca: tak peduli) terhadap isi hukum lesan-tradisional? Karena kesadaran rakyat umumnya telah berkembang tercampur dengan pengaruh dan tuntutan kehidupan modern, seberapapun tipisnya pengaruh itu, sementara aturan-aturan hukum lesan-tradisional mereka sendiri tidak mampu mengikuti gerak perkembangan tersebut. Mengapa hukum lesan-tradisional tidak mampu mengikuti perkembangan kesadaran masyarakat? Karena isi hukum lesan-tradisional praktis cenderung terbakukan, menjadi kaku (rigid) bahkan mati (baca: mandeg), tidak lagi tanggap terhadap apa yang dibutuhkan masyarakat yang sesungguhnya tak pernah berhenti tumbuh dari hari ke hari.
Per definisi hukum lesan-tradisional (lazim disebut hukum adat) adalah hukum yang hidup; artinya dia tumbuh, tidak diam melainkan berkembang sejalan dengan perkembangan dari masyarakat pembuat/pendukung/penggunanya. Artinya kalau suatu hukum lesan-tradidional tertentu dalam praktik tidak lagi tumbuh maka sumber masalah pertama-tama perlu dicari pada sikap mental orang-orang yang sehari-hari menggunakannya. Fenomena kemandegan hukum juga bisa mengancam suatu undang-undang nasional manakala banyak orang “sepakat” (dalam rangka bertahan pada status quo) untuk melestarikan dan menjadikannya sakral.
Apa akibatnya jika sesuatu hukum lesan-tradisional berhenti tumbuh? Yang terjadi bisa dua kemungkinan: kemungkinan pertama aturan hukum lesan-tradisional tersebut mulai ditinggalkan (sebab dianggap tak berguna) oleh orang-orang yang berpandangan dan bersikap progresif; kemungkinan lain aturan hukum lesan-tradisional yang telah dibakukan dan menjadi kaku tersebut kemudian dipegang erat-erat, dilestarikan, bahkan disakralkan oleh orang-orang yang berpandangan naïve maupun fanatik.
Bagaimana sikap orang-orang dari tiga golongan ini (progresif, naïve dan fanatik) terhadap isi undang-undang nasional? Orang progresif umumnya akan cepat menyesuaikan diri dengan undang-undang nasional sejauh hal itu dianggapnya bisa menguntungkan (opportunism). Orang naïve akan menerima aturan undang-undang nasional tanpa syarat; mereka cenderung percaya bahwa semua hukum adalah baik dan adil karena dibuat dengan maksud baik serta (pasti) dilindungi Tuhan. Sebaliknya orang fanatik akan menanggapi isi undang-undang nasional dengan segala kefanatikannya; kalau isinya belum pernah diatur dalam hukum lesan-tradisional yang sudah dipegangnya maka aturan baru itu akan diterima dan lalu dianggapnya sakral pula. Tapi kalau isi undang-undang nasional itu ternyata berbeda dengan hukum lesan-tradisional yang (baginya) sakral maka aturan baru itu akan ditolak, bahkan mungkin dihujat dengan tuduhan telah melawan kesakralan.
Baik orang progresif, naïve maupun fanatik sebenarnya dirugikan oleh cara pandang mereka karena ketiga-tiganya tidak berpikir/bersikap kritis terhadap isi hukum itu sendiri. Padahal tidak berpikir/bersikap kritis terhadap isi hukum selalu mengandung bahaya sebab dengan cara ini orang akan mudah dikendalikan, diperhamba dan menjadi objek semata-mata dari aturan-aturan yang (sesungguhnya) dibuat baginya oleh orang lain.
Lalu bagaimana mengatasinya? Didiklah orang kebanyakan agar mereka mampu berpikir dan bersikap kritis terhadap hukum.
Pendidikan kritis terhadap hukum, mungkinkah?
Pendidikan kritis secara khusus dirancang untuk membantu orang mendayagunakan nalar dan menumbuhkan kesadaran kritisnya terhadap fenomena alam dan sosial budaya yang dihadapinya sehari-hari. Apakah pendidikan yang diterima dari pendahulu maupun guru-guru kita selama ini layak disebut pendidikan kritis?
Mari kita periksa contoh-contoh berikut:
Bagaimana jika pendidikan kritis mau diterapkan terhadap hukum? Apakah tidak akan muncul masalah mengingat bahwa hukum itu sebagian bersifat normatif karena ia terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk yang dianut masyarakat? Mendidik orang berpikir dan bersikap kritis terhadap hukum berarti mengajaknya mengambil sikap kritis terhadap nilai-nilai tersebut. Ini tentu bukan pekerjaan mudah sebab umumnya nilai-nilai diserahkan (traditio) dan diterima begitu saja dari generasi terdahulu, serta merta diyakini sebagai buruk atau baik dan lalu dipertahankan sejauh bisa. Hampir tidak ada ruang untuk bertanya, apalagi membahas, misalnya: apakah adil jika upah seorang pembantu rumah tangga yang bekerja sebulan penuh hanya bernilai separuh dari ongkos menjahit gaun yang hanya membutuhkan dua hari kerja? Atau: apakah adil jika hanya laki-laki boleh menjadi kepala keluarga padahal istrinya (perempuan) sesungguhnya lebih mampu memimpin keluarganya?
Pendidikan kritis hukum jelas membutuhkan dibukanya ruang dan iklim yang lebih fair untuk mempertanyakan dan membahas semua tradisi, kebiasaan-kebiasaan dan aturan-aturan yang selama ini diandaikan baik, suci dan adil.
Mengapa hukum perlu dihadapi dengan sikap kritis?
Sisi lain dari hukum yang sering tidak tertangkap oleh mata orang-biasa adalah kepentingan. Selain keadilan ternyata terdapat kepentingan di balik aturan hukum, entah itu hukum lesan-tradisional ataupun undang-undang nasional. Pada masyarakat tradisional yang tertutup sisi keadilan dari hukum sangat ditonjolkan dan diterima sebagai keniscayaan, sedemikian rupa sehingga sisi lainnya, yakni kepentingan, terselimuti olehnya. Bahkan dalam masyarakat modern pun sisa-sisa keyakinan seperti itu masih sering tampak, salah satu contohnya adalah cara pandang dan sikap mahasiswa hukum yang naïve yang saya tampilkan dalam kutipan tersebut di atas. Mengapa ini terjadi? Karena sebenarnya tidak mudah bagi orang pada umumnya untuk keluar (terbebas) dari tradisi berpikir dan bersikap naïve yang telah mereka terima dan yakini turun-temurun.
Hukum (baik undang-undang nasional maupun hukum lesan-tradisional) perlu disikapi dengan kritis justru karena sisi kepentingan yang tersembunyi dibalik aturan itu belum tentu mewakili kehendak orang banyak dan apa yang mereka butuhkan.
Aturan hukum tak pernah netral.
Ini kenyataan yang berbeda dengan harapan dan pandangan naïve orang tentang hukum (baik berbentuk undang-undang nasional maupun hukum lesan-tradisional). Mungkin ada banyak orang tidak mau menerima kenyataan (pahit) bahwa hukum sesungguhnya tidak pernah netral. Mereka akan memprotes jika ternyata hukum itu memihak. Mereka akan marah dan menuntut agar hukum “dikembalikan” pada posisi netral seturut gagasan, harapan dan khayalan (illusion) nya. Maka mereka pun bermimpi menghadirkan hukum Illahi yang diyakini sebagai satu-satunya yang mampu menjamin keadilan sekaligus kepastian bagi semua. Lalu semua urusan duniawi diserahkan kembali pada Yang Illahi dan sementara menunggu jawaban dari “atas” permainan jalan terus di bawah kendali orang lain (baca: kelompok dominan).
Bertentangan dengan mitos bahwa “hukum itu sakral dan adil”, senyatanya hukum dibuat untuk mempertahankan, menjaga dan melindungi kepentingan kelompok dominan dalam masyarakat. Kalau kelompok dominan itu pada suatu masa adalah kaum pemilik modal swasta maka kepentingan kelompok inilah yang akan memperoleh perlindungan dalam undang-undang nasional yang proses pembuatannya di parlemen sudah pasti mereka kuasai. Begitu pun halnya kalau kelompok dominan itu adalah kaum bangsawan dan para tuan tanah (land lord). Bahkan tidak mustahil suatu masa kelak kelompok dominan itu adalah kaum perempuan, yakni manakala kepentingan perempuan terwakili secara signifikandi parlemen. Prinsipnya barang siapa mau agar kepentingannya dilindungi undang-undang nasional maka dia harus bisa memenangkan suara dalam parlemen, apapun caranya.
Dalam rangka bernegara, lepas dari apakah anda setuju atau menolak, undang-undang nasional merupakan salah satu alat politik yang dikendalikan oleh dan mengabdi pada kehendak dan cita-cita kelompok dominan. Kalau orang mampu berpikir dan bersikap kritis terhadap undang-undang nasional maka mereka akan beruntung mampu pula menilai siapa diuntungkan dan sebaliknya siapa dirugikan oleh alat tersebut.
Dengan cara pikir yang sama kitapun sebenarnya mampu sampai juga untuk memahami kepentingan apa dan siapa berada di balik hukum lesan-tradisional kita masing-masing.
Siapa layak melakukannya dan apa target capaiannya?
Pertanyaan penting yang selama ini terabaikan adalah: siapa paling tepat melakukan pendidikan kritis hukum bagi orang kebanyakan? Apakah panggilan pertama terarah pada kaum terpelajar hukum?
Lelucon sindiran berikut ini mungkin dapat menjawabnya secara tak langsung:
Pada bulan April tahun 1998 Ibu Maria diundang oleh petinggi Gereja Masehi Injili Halmahera di Tobelo (Hamahera Utara) untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan para pendeta, dosen-dosen sekolah teologi dan anggota majelis jemaat yang terhormat. Pada akhir percakapan salah seorang pendeta senior mempertanyakan: “Mengapa para pengacara dan penasihat hukum Kristen selama ini tidak melakukan apapun terhadap ketidakadilan sosial yang merajalela di kalangan jemaat?“ Waktu itu saya menjawabnya dengan menggunakan analogi: “ Pertanyaan serupa juga bisa diajukan kepada para penjahit pakaian dan pemilik modeste, mengapa mereka tidak berbuat apa-apa sedangkan diketahuinya ada begitu banyak orang miskin di sekitar mereka tidak berpakaian?“
Kalau kaum terpelajar hukum dan yang lain merasa diri terpanggil untuk melakukan pendidikan kritis bagi orang kebanyakan maka mereka perlu mempersiapkan diri secara istimewa. Persiapan awal yang maha penting yang harus dibuatnya adalah mengoreksi semua ideologi, konsep-konsep dan pengetahuan yang telah diperolehnya dari universitas yang (siapa tahu) justru menghalanginya memahami kepentingan ekonomi sosial politik orang kebanyakan. Guna menjawab panggilan itu dibutuhkan jenis pendidikan yang khusus mempersiapkan mereka bekerja bagi kepentingan ekonomi sosial politik orang kebanyakan dengan sikap menolak berintegrasi pada peradaban kapitalistik.
Target capaian kita adalah tersiapkannya suatu kelas orang kebanyakan yang berpikir dan bersikap kritis terhadap fenomena sosial budaya yang dihadapinya sehari-hari. Apa indikator keberhasilannya? Pertama, manakala orang kebanyakan tidak lagi membiarkan kehidupannya diatur sepihak, dari atas dan satu arah oleh orang lain (dominasi penguasa). Kedua, manakala orang kebanyakan merasa terpanggil dan berkepentingan terlibat aktif dalam proses-proses politik pembuatan keputusan-keputusan (hukum) pada semua aras.