Orang kebanyakan umumnya dikatakan buta hukum baik terhadap isi undang-undang nasional maupun terhadap hukum lesan-tradisional. Mengapa orang “buta” terhadap undang-undang nasional? Karena pengetahuan tentang undang-undang nasional senyatanya masih menjadi pengetahuan elitis yang hanya dipahami sebatas kalangan kaum terpelajar saja, itupun lebih banyak oleh mereka yang mendapat pendidikan khusus di sekolah hukum.
Tapi mengapa orang juga “buta” (baca: tak peduli) terhadap isi hukum lesan-tradisional? Karena kesadaran rakyat umumnya telah berkembang tercampur dengan pengaruh dan tuntutan kehidupan modern, seberapapun tipisnya pengaruh itu, sementara aturan-aturan hukum lesan-tradisional mereka sendiri tidak mampu mengikuti gerak perkembangan tersebut. Mengapa hukum lesan-tradisional tidak mampu mengikuti perkembangan kesadaran masyarakat? Karena isi hukum lesan-tradisional praktis cenderung terbakukan, menjadi kaku (rigid) bahkan mati (baca: mandeg), tidak lagi tanggap terhadap apa yang dibutuhkan masyarakat yang sesungguhnya tak pernah berhenti tumbuh dari hari ke hari.
Per definisi hukum lesan-tradisional (lazim disebut hukum adat) adalah hukum yang hidup; artinya dia tumbuh, tidak diam melainkan berkembang sejalan dengan perkembangan dari masyarakat pembuat/pendukung/penggunanya. Artinya kalau suatu hukum lesan-tradidional tertentu dalam praktik tidak lagi tumbuh maka sumber masalah pertama-tama perlu dicari pada sikap mental orang-orang yang sehari-hari menggunakannya. Fenomena kemandegan hukum juga bisa mengancam suatu undang-undang nasional manakala banyak orang “sepakat” (dalam rangka bertahan pada status quo) untuk melestarikan dan menjadikannya sakral.
Apa akibatnya jika sesuatu hukum lesan-tradisional berhenti tumbuh? Yang terjadi bisa dua kemungkinan: kemungkinan pertama aturan hukum lesan-tradisional tersebut mulai ditinggalkan (sebab dianggap tak berguna) oleh orang-orang yang berpandangan dan bersikap progresif; kemungkinan lain aturan hukum lesan-tradisional yang telah dibakukan dan menjadi kaku tersebut kemudian dipegang erat-erat, dilestarikan, bahkan disakralkan oleh orang-orang yang berpandangan naïve maupun fanatik.
Bagaimana sikap orang-orang dari tiga golongan ini (progresif, naïve dan fanatik) terhadap isi undang-undang nasional? Orang progresif umumnya akan cepat menyesuaikan diri dengan undang-undang nasional sejauh hal itu dianggapnya bisa menguntungkan (opportunism). Orang naïve akan menerima aturan undang-undang nasional tanpa syarat; mereka cenderung percaya bahwa semua hukum adalah baik dan adil karena dibuat dengan maksud baik serta (pasti) dilindungi Tuhan. Sebaliknya orang fanatik akan menanggapi isi undang-undang nasional dengan segala kefanatikannya; kalau isinya belum pernah diatur dalam hukum lesan-tradisional yang sudah dipegangnya maka aturan baru itu akan diterima dan lalu dianggapnya sakral pula. Tapi kalau isi undang-undang nasional itu ternyata berbeda dengan hukum lesan-tradisional yang (baginya) sakral maka aturan baru itu akan ditolak, bahkan mungkin dihujat dengan tuduhan telah melawan kesakralan.
Baik orang progresif, naïve maupun fanatik sebenarnya dirugikan oleh cara pandang mereka karena ketiga-tiganya tidak berpikir/bersikap kritis terhadap isi hukum itu sendiri. Padahal tidak berpikir/bersikap kritis terhadap isi hukum selalu mengandung bahaya sebab dengan cara ini orang akan mudah dikendalikan, diperhamba dan menjadi objek semata-mata dari aturan-aturan yang (sesungguhnya) dibuat baginya oleh orang lain.
Lalu bagaimana mengatasinya? Didiklah orang kebanyakan agar mereka mampu berpikir dan bersikap kritis terhadap hukum.
Pendidikan kritis terhadap hukum, mungkinkah?
Pendidikan kritis secara khusus dirancang untuk membantu orang mendayagunakan nalar dan menumbuhkan kesadaran kritisnya terhadap fenomena alam dan sosial budaya yang dihadapinya sehari-hari. Apakah pendidikan yang diterima dari pendahulu maupun guru-guru kita selama ini layak disebut pendidikan kritis?
Mari kita periksa contoh-contoh berikut:
Bagaimana jika pendidikan kritis mau diterapkan terhadap hukum? Apakah tidak akan muncul masalah mengingat bahwa hukum itu sebagian bersifat normatif karena ia terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk yang dianut masyarakat? Mendidik orang berpikir dan bersikap kritis terhadap hukum berarti mengajaknya mengambil sikap kritis terhadap nilai-nilai tersebut. Ini tentu bukan pekerjaan mudah sebab umumnya nilai-nilai diserahkan (traditio) dan diterima begitu saja dari generasi terdahulu, serta merta diyakini sebagai buruk atau baik dan lalu dipertahankan sejauh bisa. Hampir tidak ada ruang untuk bertanya, apalagi membahas, misalnya: apakah adil jika upah seorang pembantu rumah tangga yang bekerja sebulan penuh hanya bernilai separuh dari ongkos menjahit gaun yang hanya membutuhkan dua hari kerja? Atau: apakah adil jika hanya laki-laki boleh menjadi kepala keluarga padahal istrinya (perempuan) sesungguhnya lebih mampu memimpin keluarganya?
Pendidikan kritis hukum jelas membutuhkan dibukanya ruang dan iklim yang lebih fair untuk mempertanyakan dan membahas semua tradisi, kebiasaan-kebiasaan dan aturan-aturan yang selama ini diandaikan baik, suci dan adil.
Mengapa hukum perlu dihadapi dengan sikap kritis?
Sisi lain dari hukum yang sering tidak tertangkap oleh mata orang-biasa adalah kepentingan. Selain keadilan ternyata terdapat kepentingan di balik aturan hukum, entah itu hukum lesan-tradisional ataupun undang-undang nasional. Pada masyarakat tradisional yang tertutup sisi keadilan dari hukum sangat ditonjolkan dan diterima sebagai keniscayaan, sedemikian rupa sehingga sisi lainnya, yakni kepentingan, terselimuti olehnya. Bahkan dalam masyarakat modern pun sisa-sisa keyakinan seperti itu masih sering tampak, salah satu contohnya adalah cara pandang dan sikap mahasiswa hukum yang naïve yang saya tampilkan dalam kutipan tersebut di atas. Mengapa ini terjadi? Karena sebenarnya tidak mudah bagi orang pada umumnya untuk keluar (terbebas) dari tradisi berpikir dan bersikap naïve yang telah mereka terima dan yakini turun-temurun.
Hukum (baik undang-undang nasional maupun hukum lesan-tradisional) perlu disikapi dengan kritis justru karena sisi kepentingan yang tersembunyi dibalik aturan itu belum tentu mewakili kehendak orang banyak dan apa yang mereka butuhkan.
Aturan hukum tak pernah netral.
Ini kenyataan yang berbeda dengan harapan dan pandangan naïve orang tentang hukum (baik berbentuk undang-undang nasional maupun hukum lesan-tradisional). Mungkin ada banyak orang tidak mau menerima kenyataan (pahit) bahwa hukum sesungguhnya tidak pernah netral. Mereka akan memprotes jika ternyata hukum itu memihak. Mereka akan marah dan menuntut agar hukum “dikembalikan” pada posisi netral seturut gagasan, harapan dan khayalan (illusion) nya. Maka mereka pun bermimpi menghadirkan hukum Illahi yang diyakini sebagai satu-satunya yang mampu menjamin keadilan sekaligus kepastian bagi semua. Lalu semua urusan duniawi diserahkan kembali pada Yang Illahi dan sementara menunggu jawaban dari “atas” permainan jalan terus di bawah kendali orang lain (baca: kelompok dominan).
Bertentangan dengan mitos bahwa “hukum itu sakral dan adil”, senyatanya hukum dibuat untuk mempertahankan, menjaga dan melindungi kepentingan kelompok dominan dalam masyarakat. Kalau kelompok dominan itu pada suatu masa adalah kaum pemilik modal swasta maka kepentingan kelompok inilah yang akan memperoleh perlindungan dalam undang-undang nasional yang proses pembuatannya di parlemen sudah pasti mereka kuasai. Begitu pun halnya kalau kelompok dominan itu adalah kaum bangsawan dan para tuan tanah (land lord). Bahkan tidak mustahil suatu masa kelak kelompok dominan itu adalah kaum perempuan, yakni manakala kepentingan perempuan terwakili secara signifikandi parlemen. Prinsipnya barang siapa mau agar kepentingannya dilindungi undang-undang nasional maka dia harus bisa memenangkan suara dalam parlemen, apapun caranya.
Dalam rangka bernegara, lepas dari apakah anda setuju atau menolak, undang-undang nasional merupakan salah satu alat politik yang dikendalikan oleh dan mengabdi pada kehendak dan cita-cita kelompok dominan. Kalau orang mampu berpikir dan bersikap kritis terhadap undang-undang nasional maka mereka akan beruntung mampu pula menilai siapa diuntungkan dan sebaliknya siapa dirugikan oleh alat tersebut.
Dengan cara pikir yang sama kitapun sebenarnya mampu sampai juga untuk memahami kepentingan apa dan siapa berada di balik hukum lesan-tradisional kita masing-masing.
Siapa layak melakukannya dan apa target capaiannya?
Pertanyaan penting yang selama ini terabaikan adalah: siapa paling tepat melakukan pendidikan kritis hukum bagi orang kebanyakan? Apakah panggilan pertama terarah pada kaum terpelajar hukum?
Lelucon sindiran berikut ini mungkin dapat menjawabnya secara tak langsung:
Pada bulan April tahun 1998 Ibu Maria diundang oleh petinggi Gereja Masehi Injili Halmahera di Tobelo (Hamahera Utara) untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan para pendeta, dosen-dosen sekolah teologi dan anggota majelis jemaat yang terhormat. Pada akhir percakapan salah seorang pendeta senior mempertanyakan: “Mengapa para pengacara dan penasihat hukum Kristen selama ini tidak melakukan apapun terhadap ketidakadilan sosial yang merajalela di kalangan jemaat?“ Waktu itu saya menjawabnya dengan menggunakan analogi: “ Pertanyaan serupa juga bisa diajukan kepada para penjahit pakaian dan pemilik modeste, mengapa mereka tidak berbuat apa-apa sedangkan diketahuinya ada begitu banyak orang miskin di sekitar mereka tidak berpakaian?“
Kalau kaum terpelajar hukum dan yang lain merasa diri terpanggil untuk melakukan pendidikan kritis bagi orang kebanyakan maka mereka perlu mempersiapkan diri secara istimewa. Persiapan awal yang maha penting yang harus dibuatnya adalah mengoreksi semua ideologi, konsep-konsep dan pengetahuan yang telah diperolehnya dari universitas yang (siapa tahu) justru menghalanginya memahami kepentingan ekonomi sosial politik orang kebanyakan. Guna menjawab panggilan itu dibutuhkan jenis pendidikan yang khusus mempersiapkan mereka bekerja bagi kepentingan ekonomi sosial politik orang kebanyakan dengan sikap menolak berintegrasi pada peradaban kapitalistik.
Target capaian kita adalah tersiapkannya suatu kelas orang kebanyakan yang berpikir dan bersikap kritis terhadap fenomena sosial budaya yang dihadapinya sehari-hari. Apa indikator keberhasilannya? Pertama, manakala orang kebanyakan tidak lagi membiarkan kehidupannya diatur sepihak, dari atas dan satu arah oleh orang lain (dominasi penguasa). Kedua, manakala orang kebanyakan merasa terpanggil dan berkepentingan terlibat aktif dalam proses-proses politik pembuatan keputusan-keputusan (hukum) pada semua aras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar