Oktober 25, 2011

Palsukah Wajah Hukum di Indonesia ?


 “Kemana,,,,kemana,,,,,kemana,,,,”

Siapa tak hafal dengan awalan lagu “Alamat Palsu” yang dinyanyikan Ayu Ting-Ting ini. Lagu ini sekarang begitu populer. Tak urung, sang penyanyi pun turut naik daun. Sejenak melepas kepenatan masyarakat terhadap banyak masalah hukum yang terjadi di nusantara ini. Kalau mau diambil nilai filosofisnya, lagu “alamat palsu” juga dapat menjadi bahan permenungan wajah hukum di Indonesia. Sebab yang palsu di Indonesia bukan hanya alamat saja. Hakim palsu, Jaksa palsu, Polisi palsu , Pengacara palsu dan bahkan saksi-saksinya serta terdakwa, penggugat, serta tergugat juga bisa palsu semua.

Wajah Hukum Indonesia : Asli atau Palsu ?
Sejenak napak tilas perjalanan saya memilih dunia hukum. Semoga kawan-kawan tidak boring membacanya. Waktu itu, saat idealisme seorang mahasiswa baru begitu kuatnya, saya menaruh keyakinan bahwa sesuatu yang benar pasti akan menang. Termasuk dalam dunia peradilan. Sehingga logika saya pada masa itu, hukum akan jadi panglima jika ada semangat untuk menegakkan dan mencari kebenaran. Hingga tahun pun berjalan. Kira-kira menginjak semester 5, saya mulai menyerap bahwa banyak ketidakadilan yang jelas-jelas menjadi pemenang. Bahasa orang hukum : banyak terjadi d’etournement de pouvoir atau dalam bahasa ibu saya, banyak terjadi penyalahgunaan wewenang. Akibatnya ada jurang yang sangat dalam antara das sein dengan das sollen. Antara yang ideal dengan yang riil. Saya mulai menangkap, A Truth is the common’s truth. Lalu apa yang harus saya lakukan sebagai orang yang berkecimpung di dunia hukum (nantinya) ? Pikir saya pun melayang. Dan setelah beberapa waktu lamanya melakukan kontemplasi, saya berkeputusan, saya akan merubahnya! Tapi masakan sendirian? Nyali saya pun surut. Tapi tetap saya berkeputusan akan benar-benar terjun di lumpur hukum Indonesia yang sudah terlanjur pekat dan kotor ini.

Sampai akhirnya saat itu pun tiba. Saya diwisuda dan kemudian berhak menyandang gelar SH (Sarjana Hukum) dibelakang nama saya. Mau kemana saya? Pertanyaan saya sama persis dengan pertanyaan Ayu Ting Ting. Dan karena saya tak mau tersesat seperti Ayu, saya pun mengambil tawaran sebagai Redaktur Hukum di salah satu majalah internal di Jakarta. Semua perkara hukum yang jadi sorotan nasional saya kupas, saya analisis dan kemudian saya tulis sebagai informasi di media. Sambil menyelam, minum air. Singkat cerita, saya mengikuti PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat) dan lulus ujian PERADI sebagai seorang Advokat. Saya pun ganti jalur. Saya menjadi praktisi hukum. Mendampingi klien, menangani perkara dan pada akhirnya wajib memenangkan perkara.

Yang menarik adalah lika-liku menjadi seorang praktisi hukum. Banyak yang saya pelajari dalam berperkara. Sebuah guru yang tak mungkin saya peroleh di dunia perkuliahan. Inilah wajah hukum yang sesungguhnya. Sebuah wajah yang sama sekali beda dengan apa yang saya bayangkan. Mulai dari skill mencari celah hukum dalam setiap penyusunan gugatan atau pun pembelaan, sampai dengan skill beracara agar Majelis Hakim punya keberpihakan pada klien kita. Di pengadilan, segalanya serba mungkin, karena segalanya pun tersedia. Bak pasar malam yang menjual berbagai macam dagangan dari yang asli sampai yang palsu, mulai dari yang baru sampai dengan yang bekas, semua ada. Demikian pula di pengadilan, ada keputusan hakim yang benar-benar obyektif, ada pula yang fiktif atau rekayasa semata.Demikian pula aparatnya (mulai dari hakim, pengacara, jaksa dan bahkan paniteranya), ada yang baru, ada yang bekas. Yang baru idealis, yang bekas realistis. Perkaranya pun beragam. Ada yang benar-benar asli (diperkarakan karena memang bersengketa) tapi tak jarang yang palsu (diperkarakan karena strategi politik or bisnis). Benar-benar toserba. Dari sedikit gambaran saya ini, mungkin kawan-kawan bisa menjawab sub judul saya di atas.

Bukan Sekedar Pendidikan Kritis Hukum
Beberapa waktu lalu, saya mensorot tentang pendidikan kritis terhadap hukum. Ternyata, pendidikan kristis saja belum cukup untuk mengubah wajah hukum yang terlanjur perot (dalam bahasa Indonesia carut marut, tak berbentuk lagi, miring sana sini). Bahkan yang lebih urgen adalah membenahi praktek hukum yang sudah tak tahu kemana arahnya. Sayangnya, kalau di dunia pendidikan, kunci utama terletak pada Rektor dan para dosennya. Jikamana para pemegang kebijakan di dunia pendidikan hukum sudah berpikir kritis dan berperspektif konstruktif, maka sebuah pola didik kritis pun menjadi sebuah hal yang niscaya. Di Indonesia, hal demikian sudah dirintis beberapa tahun yang lalu.

Bagaimana dengan dunia peradilan ? Siapakah pemegang kunci perubahan? Tentunya institusi MA (Mahkamah Agung), Kejagung (Kejaksaan Agung), POLRI (Kepolisian RI), PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia)/KAI (Koalisi Advokat Indonesia) serta Depkumham (Departemen Hukum dan HAM) harus menjadi motor utama. Bagaimana ke-7 lembaga ini bisa secara bersama-sama melakukan perubahan? Sebenarnya, jika mau, bisa dirintis sebuah MoU (Memorandum of Understanding) tentang penegakan hukum di Indonesia. Mulai dari proses persidangan, sampai dengan proses pengelolaan lapas. Produknya bisa berupa Surat Keputusan Bersama. Setidaknya ada political will dari para pemegang kekuasaan di bidang hukum. Sayang, yang terjadi malah sebaliknya.

Akhirnya, lahirlah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Yang kini keberadaannya pun sudah mulai diusik dengan rencana revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Beberapa pengamat menilai sebagai sebuah upaya penjinakan KPK. Dengan dalih ingin membenahi sistem penyelidikan dan penuntutan dalam penanganan korupsi (agar harmonis dengan KUHAP), alih-alih malah jadi upaya pembatasan ruang gerak KPK dengan merubah mekanisme kewenangan penyadapan. KPK tak lagi berhak melakukan penyadapan tanpa ada surat izin dari Ketua Pengadilan. Demikian pula KPK tak akan lagi memiliki wewenang untuk mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian Proses Penyidikan). Katanya, agar tidak terjadi jual beli perkara di KPK. Dan bila kewenangan itu kembali eksklusif milik KPN (Ketua Pengadilan Negeri), ya sama saja dengan mengembalikan kewenangan yang riskan ini ke lembaga yang menurut masyarakat merupakan pelaku utama judicial corruption.

Kita sama-sama mengetahui bahwa memang benar kekuasaan kehakiman itu independen atau mandiri dalam memutus sebuah perkara, namun kesemuanya itu tidak menjamin bahwa kualitas putusannya tidak terhindar dari judicial crime. Dan dalam pola penyelesaian ini penuh dengan permainan, ketidak adilan serta ketidakpastian yang bertameng kepastian hukum.  Mengenai independensi kekuasaan kehakiman ini nyata-nyata telah tertulis dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD RI tahun 1945 yang bunyinya demikian : (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dan, (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dalam lingkungan peradilan umum, peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan peradilan agama dan oleh sebuah Mahkamah Agung. Lagi-lagi, tidak terlalu signifikan merubah wajah hukum jika putusan yang dibuat tak menjamin terhindar dari judicial crime.

Saya tertarik dengan salah satu tulisan Ketua Pengadilan Agama Palopo. Beliau menyampaikan bahwa reformasi lembaga-lembaga peradilan ini akan sangat efektif bila disertai dengan mekanisme kontrol sosial oleh masyarakat. Untuk mekanisme ini, sebenarnya MA sudah memfasilitasi dengan mengeluarkan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pengaduan Pelapor. Artinya, MA membuka ruang pembenahan sistem peradilan bagi masyarakat. Selain itu, sebenarnya, dulu, MA juga pernah mengeluarkan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 1 Tahun 1967 tentang eksaminasi putusan pengadilan. Jikamana ini benar-benar dilaksanakan, maka tidak ada yang namanya mem-peti es-kan perkara. Sebab setiap Pengadilan Negeri diwajibkan secara reguler melakukan eksaminasi publik atas minimal 3 (tiga) putusan pidana dan 3 (tiga) putusan perdata kontraversial yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap di wilayah hukumnya. Kontrol sosial ini tentu sangat membutuhkan KESADARAN HUKUM yang tinggi dalam masyarakat. Namun harus disadari, masyarakat pun terlanjur memiliki mind set bahwa hukum dapat dibeli. Bukan hal yang aneh ketika salah satu anggota masyarakat terjerat perkara hukum kemudian melakukan proses penyuapan kepada APH (Aparat Penegak Hukum). Terjadilah hukum ekuilibrium ekonomi, tidak ada penawaran tanpa adanya permintaan.

Sayang pula, kebijakan ini akhirnya kemudian dipinggirkan. Dan mekanisme ini tak lagi dilakukan karena  sekali lagi,,,belum menjadi common’s truth. Akhirnya, aturan melulu hanya sekedar aturan. Kebijakan pun jadi jawaban sesaat yang tak pernah signifikan mengatasi problem hukum nasional.

Dan karena itulah maka yang das sein selamanya jauh dari yang das sollen. Negeri ini pun jadi negeri yang terus  bingung.

“...ku harus mencari kemana...”

                                                                                                                          




Tidak ada komentar:

Posting Komentar